Kecarut-marutan penanganan rekonstruksi paska bencana gempa bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006, belum juga berakhir hingga hari ini. Rekonstruksi yang bias pembangunan fisik, telah mengabaikan rekonstruksi sosio-budaya masyarakat. Kekalutan warga akibat bencana alam kini berganti menjadi kegelisahan dan kemirisan warga atas mewabahnya praktik pemotongan [baca: korupsi dana rekonstruksi di wilayah Yogyakarta. Sistem yang tidak transparan dan tidak adil secara kasat mata telah menciptakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Lonceng kebangkrutan moral pun menandai masa-masa ditetapkannya status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
Menurut hasil investigasi LBH-Iwork yang bekerjasama dengan Yayasan Cindelaras Paritrana, praktik korupsi dana rekonstruksi telah dilakukan secara sistematis dan tidak jarang melibatkan aparat kekuasaan. Sejumlah persoalan terungkap dalam laporan pengaduan 264 warga korban bencana dari beberapa kabupaten, seperti Gunungkidul (78 warga), Bantul (180 warga), dan daerah lain (4 warga). Berbagai persoalan itu diantaranya: pertama, kesimpangsiuran dan ketidakjelasan protes pendataan warga yang rumahnya rusak akibat gempa, telah menghasilkan data yang cenderung manipulatif. Kecenderungan praktik manipulatif itu telah menyebabkan penyaluran dana bantuan yang tidak tepat sasaran. Hal itu jelas-jelas melanggar asas keadilan bagi sebagian warga korban yang sesungguhnya berhak atas dana rekosntruksi tersebut.
Kedua, menurut pengaduan warga, pemotongan dan rekonstruksi tersebut terjadi dengan berbagai macam modus dan dalih yang kesemuanya dibungkus dengan label indah bernama kearifan lokal, seperti : demi keguyuban kelompok, tali kasih, pemerataan, uang administrasi, uang jalan, dana pisungsung lurah dana para pejabat di tingkat atas. Berkedok kearifan lokal semacam itu, para oknum bisa menangguk peluang untuk menjarah dana milik warga. Teror psikis dan intimidasi pun ditimpakan kepada warga yang tak patuh. Ancaman sanksi sosial berupa pengucilan dan pengusiran dari wilayah desa adalah resiko pahit yang harus ditanggungoleh warga yang membangkang.
Ketiga, tindak kekerasan itu ternyata tidak hanya berhenti pada teror dan intimidasi saja, namun sejumlah kasus kekerasan fisik pun telah dialami warga. Dalam hal ini, oknum perangkat desa menyewa "preman" untuk melakukan pemukulan terhadap beberapa warga yang menolak dananya dipotong. Bahkan secara sistematis "preman-preman" inilah yang justru dimanfaatkan secara ilegal oleh oknum aparat desa sebagai "tim pemotongan dana rekonstruksi".
Paparan di atas menggambarkan bahwa penyaluran dana rekonstruksi yang tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan yang ketat, hanya akan melahirkan kekacauan, kekerasan, rusaknya tata nilai sosial dan budaya masyarakat. Situasi yang chaotik semacam itu tentu saja menjadi peluang emas bagi para "kelompok-kelompok pembonceng" untuk mendulang untung di tengah penderitaan rakyat.
Berdasarkan hasil verifikasi dan investigasi lapangan LBH-Iwork yang bekerjasama dengan Yayasan Cindelaras Paritrana, Wilayah Gunungkidul adalah wilayah terparah dalam pemotongan dakon berkisar antara 937,9 ribu hingga 10,97 juta rupiah (lihat rata-rata dan plus/minus standar deviasi pada Tabel 1.). Keadaan yang sama terjadi di Kabupaten Bantul berkisar antara 1.9 juta hingga 5,7 juta rupiah. Celakanya, usaha pelaporan warga untuk memperoleh keadilan juga banyak mendapatkan kendala. Selain harus berhadapan dengan premanisme [ancam, teror, intimidasi] yang sarat kekerasan, warga yang mengadu justru dibenturkan dengan warga lainnya oleh dan sejumlah ancaman alias "premanisme" yang sarat kekerasan dan upaya-upaya dibenturkan antar warga yang berpotensi terjadinya konflik horizontal oleh pihak-pihak tertentu". Hal ini jelas berpotensi pada konflik horisontal dan praktis mengaburkan persoalan disebalik pemotongan dakon.
Pemotongan dakon dengan demikian bukan semata-mata tindak pidana ringan (tipiring) seperti pemerasaan, pemalakan, pemaksaan, pemukulan antar warga, tetapi dugaan ke arah tindak pidana korupsi adalah nyata kewujudannya. Mengutip Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X telah meminta aparat hukum menindak pelaku penyunatan dana rekonstruksi korban gempa. Pemotongan dana rekonstruksi tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. "masalah penyunatan memang menjadi wewenang pemerintah kabupaten. Tapi saya minta penyunatan dana rekonstruksi diusut. Kejaksaan dan aparat terkait harus memproses hukum, kata Gubernur. Penyunatan dana rekonstruksi korban gempa merupakan tindak pidana yang bisa dikategorikan "Korupsi".
Menyepakati pernyataan Gubernur, Tim Investigasi LBH-Iwork dan Yayasan Cindelaras Paritrana (YACITRA) menyatakan bahwa:
1. Mendukung wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk tidak dijadikan ajang "bancakan" pemotongan dakon oleh pihak-pihak pembonceng yang mencari keuntungan diri dan nyata-nyata merugikan rakyat dan negara, pada giliranya merusak citra Yogyakarta.
2. Mendesak institusi penegak hukum, terutamanya kepolisian dan kejaksaan bekerja secara maksimal untuk melakukan pengusutan, tanpa melidungi pihak-pihak pedesain dan pelaksana pemotongan dakon, serta aparat pemerintah yang terlibat.
3. Mendorong dan menguatkan rakyat korban bencana yang mengalami pemotongan dakon untuk semakin berani menyatakan, menegakkan dan memperjuangkan hak-haknya, tanpa rasa takut.
4. Mengajak semua elemen masyarakat, kampus, organisasi massa, organisasi keagamaan, dan media massa untuk terlibat mendorong dan mengawal proses-proses hukum dan atau langkah-langkah konkrit penanganan kasus potong dakon, serta menghindarkan upaya-upaya membelokkan kasus penyelewengan ini oleh pihak-pihak terkait.
5. Ini semua harus mewujudkan rasa solidaritas dan kemanusian untuk memenangkan hak-hak para korban.
Oleh karena itu, tim mempercayai bahwa aparat penegak hukum masih mempunyai rasa adil dan kemanusiaan untuk menangani perkara-perkara ini bagi pemenuhan hak-hak para korban bencana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar